July 17, 2025
Siapakah Kita?
Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya
Tiba-tiba saya teringat puluhan tahun silam, ketika usia muda, belum kawin, saya mengikuti ceramah dari seorang tokoh besar dari Bali yang ucapannya tak hanya terngiang, tapi tertancap di otak.
Waktu itu, saya belum menikah. Tapi saya sudah bekerja, memikul tanggung jawab, bahkan sering berpikir tentang keluarga dan masyarakat.
Kata orang, saya masih brahmacari. Tapi benarkah mereka yang masih belum kawin ansih digolongkan sebagai seorang brahmacari?
Tokoh itu berkata lirih namun tegas, “Catur ashrama itu bukan bilik-bilik yang berdinding tebal. Ia bukan penjara usia, bukan kurungan status. Ia adalah perjalanan batin yang bisa tumpang tindih, hidup berdampingan dalam satu tubuh, satu jiwa.”
Saya tersentak. Tak ada yang lebih terang dari kenyataan bahwa seseorang bisa menjadi brahmacari, sekaligus grehasta, bahkan sedikit wanaprasta, dalam satu tarikan napas. Bukan soal sudah menikah atau belum, tapi tentang apa yang kita pikul, siapa yang kita pikirkan, untuk siapa hidup ini?
Ketika duduk di bangku kuliah namun sudah menjadi sandaran bagi keluarga, tempat bertanya bagi adik-adik, sahabat bagi teman, atau kerennya sebagai mahluk sosial, maka di situ, saat itu, ia seorang grehasta, meski belum ada cincin di jari manisnya.
Begitu pula dalam catur warna. Betapa sering kita keliru membacanya sebagai kasta—sebagai tingkatan yang tak bisa saling bersentuhan.
Padahal sejatinya, warna-warna itu tak pernah berdiri sendiri. Mereka seperti jari-jari di tangan: berbeda rupa, tapi satu gerak.
Seorang lelaki bernama Bagus, saat ia tenggelam dalam kitab suci, menjadi penjaga ilmu, ia adalah seorang brahmana.
Namun ketika ia membela keluarganya, berdiri di depan untuk menjaga harga diri istri dan saudaranya, maka ia menjelma menjadi kesatria. Ketika bercocok tanam di ladangnya yang luas, meneteskan keringat untuk menyuburkan bumi, ia adalah seorang sudra.
Dan ketika hasil bumi itu ia jual di pasar untuk menyambung hidup, saat itu, tak lain adalah waisya. Bagaimana mungkin satu manusia menjadi empat warna sekaligus? Di sinilah paradoks menemukan rumahnya.
Warna bukan batas, bukan sekat. Warna adalah pelangi yang hanya bisa muncul ketika semua warna bersatu. Yang membedakan hanya dominannya cahaya, bukan tingginya langit.
Sebagaimana tubuh yang sehat membutuhkan jantung, paru-paru, hati, dan otak yang bekerja selaras, demikian juga harmoni hidup hanya tercapai jika semua unsur saling mengisi.
Tri Hita Karana mengingatkan: jangan hanya elokkan hubungan dengan Tuhan tapi membiarkan tetangga di sebelah kelaparan.
Jangan memuja gunung suci jika sungai di kaki dibiarkan tercemar. Sampah berserakan, dan kita tak peduli. Tuhan, manusia, dan alam—ketiganya bukan jalan terpisah, melainkan simpul-simpul satu ikatan yang disebut keseimbangan.
Maka janganlah hidup dipotong-potong seperti kue ulang tahun. Jangan biarkan ajaran luhur dikerdilkan oleh pikiran sempit yang memisahkan mana suci dan mana duniawi.
Catur ashrama bukan tahapan linear yang harus dilewati seperti anak tangga. Ia seperti lingkaran musim yang bisa saling melintas. Catur warna bukan petak-petak sosial yang saling berlomba tinggi, tetapi jalinan warna-warni yang membentuk kanvas indah bernama kemanusiaan.
Di dunia yang sering terlalu gemar membagi, memisah, dan mengukur, ajaran-ajaran ini datang seperti embun pagi: bening, hening, dan menyatukan.
Maka jika bertanya siapa diri kita hari ini, jangan buru-buru menjawab dengan satu kata. Mungkin kita sedang menjadi empat, atau bahkan semua. Dan itu bukan kesalahan. Itu justru kesempurnaan.
Denpasar, 15 Juli 2025